Jumat, 22 Mei 2009

Jangan Sekedar Wacana

TAJUK
Semua pasangan calon presiden dan wakil presiden telah mulai mengutarakan niatnya untuk benar-benar berpihak pada rakyat. Dalam bahasa yang sedikit berbeda, ada pasangan yang menekanan pengutamaan ekonomi kerakyatan. Ada pula yang berkeinginan untuk membangun kemandirian ekonomi. Pernyataan demi pernyataan yang dilontarkan tersebut terdengar enak dan nyaman di hati rakyat. Jadi, siapapun yang nantinya terpilih rakyat sudah mendapat tempat dalam pengambilan kebijakan.
Akan tetapi, rakyat jangan cepat berpuas diri. Pernyataan itu baru wacana. Baru sebatas janji. Janji politik. Padahal, yang dibutuhkan rakyat adalah aksi nyata. Rakyat tidak butuh yang enak didengar, namun pada kenyataannya pahit. Jadi, persoalan bagaimanakah implementasinya, itulah yang penting dan perlu.
Dilihat dari teori kekuasaan, sepatutnya seluruh pemangku kekuasaan, apakah legislatif, eksekutif maupun yudikatif, harus berada dan berpihak pada kepentingan rakyat. Itulah hakikat kekuasaan. Bahkan kompetisi untuk merebut tampuk kepemimpinan, merupakan kompetisi untuk memberi yang terbaik bagi kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Bukan malah sebaliknya. Rakyatlah yang harus dilayani sesuai dengan kewenangan yang diberikan berdasarkan konstitusi. Dilayani dalam arti, aspirasinya didengar. Keluhannya disahuti.
Bisa dipastikan, harapan rakyat bahwa seluruh pemangku kepentingan berpihak kepentingannya, tidak pernah surut ditelan zaman, sekalipun rakyat sering dikecewakan. Rakyat terus berharap. Terbukti, setiap kali pesta demokrasi (baca : pemilu) digelar, rakyat masih mau dan setia untuk memberikan suaranya. Jika belakangan ini fenomena golongan putih (golput) banyak dirisaukan kalangan elit, barangkali itu merupakan pangkal kejenuhan.
Siapapun yang terpilih dalam pilpres nanti, diharapkan dapat memimpin perubahan. Perubahan perilaku birokrasi. Birokrasi yang melayani dan memberdayakan rakyat. Juga perubahan dalam pengambilan kebijakan yang pro pada nasib rakyat.
Parade peminggiran kepentingan rakyat dalam ranah pengambilan kebijakan adalah contoh nyatanya. Tak ketinggalan juga perilaku elit yang mengingkari hakikat kekuasaan itu sendiri. Pejabat korupsi. Sementara gaji dan tunjangan jabatan yang diterimanya sudah lebih dari cukup. Para wakil rakyat malah menghadiri sidang-sidang yang membicarakan nasib rakyat. Mereka lebih suka pelesiran ke luar negeri tanpa jelas apa tujuan dan sasarannya. Uang rakyat habis dipakai hanya untuk memuaskan nafsu keserakahan.
Dibahagian lain, ada pemerintah daerah yang justru membuat kebijakan yang merugian rakyat. Langkah ini merupakan potret pembangkangan pada aspirasi dan kepentingan rakyat banyak. Penguasa dinilai lebih berpihak pada pengusaha. Padahal ia-nya dipilih oleh rakyat banyak, bukan hanya oleh pengusaha yang jumlahnya sangat sedikit. Ekonomi kerakyatan baru sebatas wacana.
Kenyataan dan sudah bukan rahasia lagi, bahwa setiap kali ada pertarungan antara kepentingan rakyat dengan pengusaha, justru posisi rakyatlah yang dikalahkan. Padahal, seperti biasanya, pada masa musim kampanye, calon pemangku jabatan selalu mengedepankan wacana keberpihakan kepada kepentingan rakyat. Namun nyatanya setelah kekuasaan sudah dalam genggaman, rakyat pun dipinggirkan.
Konspirasi antara penguasa dengan pengusaha selalu menjadi momok yang menjadi pemicunya. Penguasa yang mempunyai kewenangan untuk membuat kebijakan, khususnya terkait regulasi, bisa memanfaatkan posisinya. Demikian juga dengan pelaku dunia usaha yang hendak membangun mercusuar usahanya, termasuk dengan menghalalkan segala cara.
Bagaimanapun kita tidak mungkin membiarkan kepentingan rakyat semakin terpinggirkan. Apalagi seiring dengan upaya pembumian prinsip-prinsip demokrasi, tuntutan agar suara dan kepentingan rakyat semakin didengar, terus berkumandang. Rakyat semakin kritis. Pilpres 2009 merupakan sarana yang harus betul-betul dimanfaatkan untuk menggagas kehadiran para pemimpin yang berpihak pada kepentingan rakyat.

Ichwan Nurrohman, 153070234

Tidak ada komentar:

Posting Komentar