Jumat, 22 Mei 2009

Saatnya Pasangan Capres-Cawapres Adu Citra

Tajuk Rencana

Kompetisi politik berlangsung panas. Akhir-akhir ini kita menyaksikan bagaimana para kandidat, saling bersaing mencoba merebut hati rakyat. Ujung-ujungnya, terjadi kegaduhan di seluruh ruang termasuk di media massa.
Pasangan Jusuf Kalla yang mengusung “lebih cepat, lebih baik” mencoba membangun mekanisme politik yang lebih berpihak kepada kepentingan masyarakat. JK yang piawai dalam bidang ekonomi, mencoba mengemas diri menjadi lebih baik dengan cara lebih banyak berbicara soal ekonomi dan menandaskan citra diri sebagai konseptor ekonomi dalam pemerintahan selama ini.
Pasangan Megawati dan Prabowo yang membawa citra “Mega Pro-Rakyat” seolah mencoba menunjukkan bahwa hanya merekalah yang pro rakyat. Kebijakan yang selama ini cenderung menjual aset negara dan melupakan rakyat kecil seolah ditunjukkan salah dengan mencoba membangun ide sebagai pasangan wong cilik.
SBY sendiri bukan tidak punya jargon. SBY ber-Boedi adalah jargon yang diusung sebagai ikon mereka. SBY seolah memutus ingatkan masyarakat mengenai sifatnya yang peragu dengan tetap mengusung Boediono sebagai pasangannya dan tetap membawa misi membawa kemakmuran bagi masyarakat.
Di atas kertas yang kita lihat memang adalah adu citra antar kandidat. Mereka melakukan upaya penting dan kerja keras demi meraih suara masyarakat. Yang kita tahu juga adalah bahwa mesin pembangun citra bekerja keras untuk mereka. Mesin pembangun citra ini mencoba mendirikan sebuah persepsi baru dan memperkokoh hal-hal positif tentang masing-masing kandidat.
Dalam perjalanan sejarah politik Indonesia barangkali inilah untuk pertama kalinya, yang namanya citra kandidat dipersiapkan secara matang. Di media kita saksikan bahwa di belakang masing-masing kandidat ada alat-alat pembangun citra. Lembaga promosi semisal Fox Indonesia dan Johan Foundation adalah sedikit dari mesin-mesin itu.
Mesin citra lain juga berasal dari para ekonom, intelektual dan politisi, plus pengusaha. Di belakang masing-masing kandidat, para kaum profesional itu juga mengasah kemampuan dan keahliannya untuk membawa kandidatnya bisa unggul dan bersaing. Beberapa di antaranya memang menjadi konseptor dalam rangka mengasah dan mempertajam kemampuan dan penampilan para kandidat.
Bukan hanya itu. Di belakang masing-masing kandidat juga ada mesin pembangun citra lain yang menggunakan strategi intelijen. Keberadaan para purnawirawan militer dan polisi di belakang mereka mencerminkan strategi-strategi militer yang bukan tidak mungkin juga akan dimainkan. Tim sukses pasangan Mega-Pro bahkan dipimpin oleh militer purnawirawan. Isu yang beredar juga menyatakan bahwa SBY menempatkan barisan purnawirawan militer di belakangnya bagaikan menjalankan strategi perang.
Itu sebabnya tidak heran bahwa ada isu dan ada kontra isu. Yang namanya citra, maka yang harus dilakukan untuk membangunnya adalah kontra citra. Itu adalah hal biasa. Dan itulah yang terjadi dalam pentas politik kita sekarang ini. Internet, televisi, koran, semuanya adalah media dimana citra masing-masing dibangun untuk mendapatkan imaji yang baru dan lebih unggul dibandingkan dengan pesaingnya.
Bagi rakyat, citra memang sungguh mempesona. Bahkan di dalam logika publik, terkadang citra itu melewati batas-batas rasional. Sah-sah saja membangun citra di atas konsep yang sedang mereka kerjakan. Tetapi kita berharap bahwa citra yang dibangun ini jangan sampai hanya sebuah ilusi belaka. Citra yang dibangun di atas ilusi hanyalah kepura-puraan dan hal itu tidak akan bertahan lama. Bagaikan gelembung sabun yang pecah seketika, kalau citra itu hanya dibangun dengan kepura-puraan, maka yang terjadi dan yang akan kita saksikan hanyalah sebuah mimpi. Pilpres usai, maka usai pulalah citra itu. Rakyat butuh pemimpin yang jujur dan apa adanya bukan pemimpin hasil polesan.

Andri Fatahillah 153070235

Tidak ada komentar:

Posting Komentar